Jumat, 13 Juli 2012

Serius Meniti Buih

“Mengalir seperti air, sampai sejauh apapun, mengalirlah 

dengan serius, dan pandailah meniti buih”


 “Mengalir seperti air, sampai sejauh apapun, mengalirlah dengan serius, dan pandailah meniti buih”. Demikian setidaknya Muhammad Aliandra Gantada Arlan menggambarkan hidupnya. 


Pria kelahiran Baturaja, 31 Maret 1964 ini tumbuh besar dalam keluarga yang demokratis.”Orangtua saya selalu mengajarkan anak-anaknya berdialog. Beliau hanya mengasih saran, apa manfaat, resiko, dan kemungkinannya. Sedangkan keputusan diserahkan kepada anak-anaknya”. 

Begitu banyak pendewasaan berfikir yang di berikan orangtuanya, (alm) H. Muhammad Arlan Ismail, membuat Gantada mengenang masa lalu. Disaat cita-citanya menjadi Insinyur teknik mesin terhadang penjurusan sekolah, karena dia mendapat jurusan IPS. Gantada muda mogok sekolah selama 3 bulan. 

“Saya mogok sekolah agar dimasukkan ke IPA,” tuturnya. Bukan hanya protes terhadap sekolah namun juga protes terhadap orangtuanya, karena dengan posisi orangtuanya pada saat itu sebagai kepala dinas, berkemungkinan besar dapat memuluskan keinginan kuatnya untuk masuk jurusan IPA. 

Tak disangka, orangtua Gantada malah berucap “Kalau mau sekolah boleh, tidak sekolah juga boleh”. Orang tua saya, lanjutnya, juga berpesan, tidak boleh terlalu memaksakan sesuatu. 

“Jalani saja yang dapat kau peroleh saat ini, dan lakukan dengan serius,” tutur Gantada mengingat pesan orang tuanya. Tidak hanya itu, orangtua Gantada juga mengatakan, kalau dirinya sekolah dikemudian hari dapat berbuat untuk orang banyak. 

Gantada muda mendapat pelajaran berharga. Disaat cita-citanya membentur tembok, dialog dengan orang tuanya membuat dia membuat pilihan terbaik untuk mengubur cita-cita itu. 

Pelajaran itupun terulang saat Gantada berupaya menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Dia tidak lulus ikut tes PNS tiga kali. Lagi-lagi, Gantada tahu persis, posisi orangtuanya memungkinkan untuk membaut dia lulus tes PNS. 


Namun, bukan hal demikian yang ditanamkan orangtua Gantada kepada anak-anaknya. Dari delapan bersaudara, hanya satu yang menjadi PNS. “Itupun profesinya dokter, bukan warisan dari orang tua,” tuturnya. 

Kini, Bapak dari tiga orang anak ini, memang tidak menjadi insinyur teknik mesin atau PNS. Gantada malah bergelut dalam dunia politik di PDI Perjuangan. Dan itupun juga tidak terlepas dari orangtuanya. 

Dalam tubuh Gantada sudah menitis ‘darah merah’ Marhaenis. Orangtuanya merupakan Ketua Partani Nasional Indonesia (PNI) di Prabumulih. “Beliau pengagum Soekarno,” katanya. 

“Sejak kecil lingkungan saya sudah mengenal dunia PNI. Keaktifan orang tua saya di PNI membuat beliau di non aktifkan dari PNS sebagai ketua DLLAJ pada tahun 1995,” kenangnya, kemudian pada tahun 1970 orangtua Gantada masuk ke Golkar dan menjadi Kepala Dinas. 

Suami dari Deoyuvanti, mengaku, pada awalnya tidak tidak tertarik dengan partai politik. Dia sempat aktif dalam gerakan pro demokrasi pada masa Rezim Soeharto. Posisinya sebagai aktivis demokrasi dnegan semangat perlawanan kepada Rezim Soeharto tidak mendapat tentangan dari orang tuanya sebagai anggota Golkar yang menjadi kepala dinas. 

“Kalaupun menggangu posisi, itu adalah resiko saya,” ungkap Gantada mengenang kata-kata orang tuanya ketika dirinya menanyakan apakah aktivitas gerakan pro demokrasi yang dia dilakukan akan menggguang posisi orang tuanya. Dan ketika itu, kenang Gantada, orangtuanya kembali mengingatkan “kalau sudah menjadi pilihan dan siap menanggung konsekwensinya, maka lakukanlah dengan serisu”. 

Sebagai seorang aktivis pro demokrasi dan juga pengacara, membawa Gantada menjadi anggota tim advokat pembela PDI Perjuangan. Awal persinggungan dengan PDI Perjuangan itu dan kondisi politik pada tahun 1999, membawa Gantada mendapat tawaran politik untuk bergabung dengan PDI Perjuangan dan mencalonkan diri sebagai anggota legislatif
 Tawaran mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, pada awalnya tidak terlalu difikirkan Gantada. “Sampai istri saya kembali menanyakan ; teman-teman lainnya sudah mencalonkan diri, bagaimana dengan saya”.


Pertanyan dari istri tercintanya tidak langsung dijawabnya. Karena Gantada sadar, pilihan politik itu, akan mempengaruhi seluruh kehidupan dirinya dan keluarga. “Kalau saya memilih itu, maka sebagian besar kehidupan saya untuk orang banyak. Mangkanya saya memberi waktu istri saya untuk berfikir juga”. 

Dalam waktu 3 bulan, Gantada terus bergerak melakukan konsolidasi partai. “Saya pulang seminggu sekali hanyauntuk mengambil pakaiaan,” tuturnya. Dalam tempo itu, Gantada dengan dukungan istri tercintanya, membulatkan tekad untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. 

“Bismillahirohmaanirohim, pilihan itu saya ambil. Ya, jadilah sampai sekarang ini”. Gantada telah berhasil ‘mengalir’ sampai di Kursi Wakil DPRD Sumsel periode 2009-2014 dari PDI Perjuangan. 

Bahkan, dia merupakan pimpinan DPRD Sumsel termuda.Gantada yang menikah dengan Deoyuvanti (44), pada tahun 1992, telah dikaruniai tiga buah hati, yakni Muhammad Gianthra Jaya Dija (16), Giovanni Karilla Ayu (14), dan Gita Dewantri Suryani (9). 

Belumlah berhenti air mengalir. Gantada bertekad melakukan yang terbaik. “Hari ini harus lebih baikdari kemarin, dan besok harus lebih baik dari ini”. Bukan hanya untuk dirinya tekad itu dikumandangkan namun juga untuk keluarga dan masyarakat keseluruhan. 

“Rakyat harus lebih sejahtera. Persoalan kemiskinan, pengangguran dan lainnya harus ada perubahan yang lebih baik,” tegasnya kepada BeritaMusi.Com di kediamannya.

sumber: www.beritamusi.com 

0 komentar:

Posting Komentar